Rabu, 12 Maret 2014

Nebis in Idem

Nebis in Idem adalah salah satu asas dalam hukum ,yang memiliki pengertian sebagai tindakan yang tidak boleh dilakukan untuk kedua kalianya dalam perkara yang sama, contonya ,seseorang tidak boleh di tuntut untuk kudua kalinya dalam kasus yang sama. Nebis in idem lazim disebut execeptio rei judicatae atau gewijsde zaak. Permasalahan nebis in idem ini diatur dalam pasal 1917 KUHPerdata. Secara hukum, suatu gugatan dapat dikatakan nebis in idem bilamana:

1. Apa yang digugat/ diperkarakan sudah pernah diperkarakan,


2. Dan telah ada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan bersifat positip seprti menolak gugatan atau mengabulkan. Dengan demikian putusan tersebut sudah litis finiri opportet. Kalau putusannya masih bersifat negatif, tidak mengakibatkan nebis in idem. Hal ini dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Juni 1979 dalam putusan kasasi no. 878 k/ Sip/ 1977 yang menyatakan, “antara perkara ini dengan perkara yang diputus oleh Pengadilan Tinggi tidak terjadi nebis in idem, sebab putusan Pengadilan Tinggi menyatakan gugatan tidak dapat diterima oleh karena ada pihak yang tidak diikutsertakan sehingga masih terbuka kemungkinan untuk menggugat lagi”.

 3. Objek, Subjek dan Materi pokok yang sama



Dalam contoh kasus yang lain tentang Nebis In Idem dipertanyaan seperti ini : Apakah asas nebis in idem berlaku pula pada kasus delik aduan ?

Jawabannya Berlaku. karena (ne bis in idem) itu azas hukum umum yang dikenal dalam hukum acara kita. dan berlaku bagi setiap ketentuan hukum pidana. delik aduan hanya merupakan pembagian sikap hukum yang dikategorikan sebagai ketentuan hukum aktiv atau pasiv. dalam hal ini delik aduan masuk dalam kategori hukum pasiv, karena tanpa pengaduan dari korban yang dirugikan/ korban kejahatan penegak hukum tidak dapat memproses (menindak) pelaku kejahatan tersebut.

Pasal 76 KUHP secara tersirat menjelaskan bahwa yang dimaksud adanya putusan hakim itu berarti pengajuan perkara yang telah diproses oleh hukum (bahwa perkara tersebut telah diadili). kalau belum diproes oleh hukum, contohnya setelah pengaduan orang yang mengadu tadi mencabut pengaduannya, tetapi dikemudian hari dia ingin mengadukan kembali, tidak masalah. yang berlaku disana bukan azas ne bis in idem. tetapi dianggap belum ada proses hukum.

Dengan berlakunya asas ne bis in idem dalam hukum acara pidana, seseorang tidak dapat dituntut untuk perkara yang sama dengan pasal yang sama. Asas ne bis in idem berlaku dalam proses acara di pengadilan. Untuk delik aduan dalam proses penyidikan, apabila pengaduan dicabut maka terbit SP3, dan penyidikan dihentikan. Tapi pengadu dapat mengadukan kembali perkaranya karena belum masuk dalam proses pengadilan sehingga tidak mencakup dalam asas ne bis in idem. Asas ne bis in idem ini baru berlaku apabila secara hukum acara di pengadilan sudah memasuki pemeriksaan pokok perkara. Sedangkan apabila masih dalam proses pra peradilan dan diputus untuk tidak dilanjutkan maka perkara tersebut masih dapat diajukan kembali. Apabila suatu delik aduan telah diajukan dan diputus bebas maka apabila dituntut kembali dengan pasal yang berbeda juga tidak tercakup dalam asas ne bis in idem.

Selain itu, dalam ranah hukum perdata, asas ne bis in idem ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1917 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (”KUHPerdata”), apabila putusan yang dijatuhkan pengadilan bersifat positif (menolak untuk mengabulkan), kemudian putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, maka dalam putusan melekat ne bis in idem. Oleh karena itu, terhadap kasus dan pihak yang sama, tidak boleh diajukan untuk kedua kalinya (dikutip dari buku “Hukum Acara Perdata”, M. Yahya Harahap, S.H., hal. 42)


Terkait dengan pengujian undang-undang, dapat juga kita temui dalam Pasal 60 ayat (1) UU No.8 Tahun 2011 yaitu Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi diterapkan pula asas ne bis in idem yaitu terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.


Pelaksanaan asas ne bis in idem ini ditegaskan pula dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2002 tentang Penanganan Perkara yang Berkaitan dengan Asas Nebis In Idem. Dalam surat edaran tersebut Ketua Mahkamah Agung pada waktu itu, Bagir Manan, mengimbau para ketua pengadilan untuk dapat melaksanakan asas ne bis in idem dengan baik demi kepastian bagi pencari keadilan dengan menghindari adanya putusan yang berbeda.



Dasar hukum:

1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);

2.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);

3.    Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 yaitu Perubahan atas Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

4.    Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2002 tentang Penanganan Perkara yang Berkaitan Dengan Asas Nebis In Idem


Kantor Hukum Kalingga

Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati
(024) 76670350
HandPhone : 081222444001

Pin BB :2988A894

Tidak ada komentar:

Posting Komentar