Selasa, 11 Maret 2014

DASAR HUKUM PENYELESAIAN KREDIT MACET






Pada prinsipnya sistem hutang tebagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu gadai, fidusia dan hak tanggungan. Untuk memahami penyelesaian kredit macet tentunya kita harus mengerti terlebih dahulu mengenai gadai, fidusia dan hak tanggungan tersebut.

1.      GADAI

Sumber Hukum
Pasal 1150 s/d pasal 1160 kitab UU hukum perdata (KUHP Perdata)

Kedudukan Benda Jaminan
Secara Fisik berada di bawah penguasaan kreditur / pihak ketiga yang telah disetujui kedua belah pihak

Sifat
·         Gadai merupakan perjanjian yang bersifat asesoir terhadap perikatan pokok yang tanpa adanya keberadaan dari utang pokok, maka hak atas benda yang digadaikan tidak pernah ada. Gadai diberikan setelah adanya perjanjian pokok.
·         Bersifat memaksa
·         Dapat beralih/dipindahkan
·         Bersifat individualiteif
Obyek
Benda bergerak baik berwujud maupun tidak
Pembebanan benda jaminan
·         Benda gadai tidak dapat dibebankan berkali-kali kepada kreditor yang berbeda
·         Tidak ada aturan untuk mendaftarkan benda jaminan yang menjadi obyek benda
 Hapusnya Hak Gadai
·         Hapusnya perjanjian pokok , yaitu perjanjian pinjam-meminjam uang
·         Benda gadai dikembalikan secara suka rela oleh pemegang gadai kepada pemberi gadai

2.      FIDUSIA

Sumber Hukum
·         UU No.42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia
·         Peraturan pemerintah No.86 tahun 2000 tentang tata cara pendaftaran jaminan fidusia dan biaya pembuatan akta jaminan fidusia
Kedudukan Benda Jaminan
Diserahkan kepada kreditur / penerima fidusia sedangkan benda jaminan secara fisik masih berada di bawah penguasaan debitur

Sifat
·         Gadai merupakan perjanjian ikatan dari suatu perjanjian pokok dan bukan kewajiban bagi para ihak untuk memenuhi suatu prestasi.
·         Bersifat memaksa
·         Dapat digunakan
·         Bersifat individualiteif
Obyek
o   Benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak
o   Benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan/hipotek, yaitu bangunan di atas tanah milik orang lain
Pembebanan benda jaminan
o   Benda jaminan fidusia dapat dibebankan berkali-kali
o   Benda harus didaftarkan
o   Pemberian sertifikat jaminan fidusia
 Hapusnya Hak Gadai
o   Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia
o   Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh debitur
o   Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia
o   Konkorndansi

3.      HAK TANGGUNGAN
Hak jaminan adalah yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang
dimaksud dalam UUPA (UU No. 5 Tahun 1960) berikut/tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.

Para Pihak Yang Dalam Perjanjian Pemberian Hak Tanggungan
o   Pemberi Hak tanggungan
Orang perseorangan / badan hokum yang memupunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang bersangkutan
o   Penerima / Pemegang hak tanggungan

Objek Hak Tanggungan
Menurut Pasal 4 UU No.4 Tahun 1996 menegaskan bahwa objek hak tanggungan
· Hak atas tanah yang dapat dibebani dengan hak tanggungan adalah
- Hak milik
- Hak guna usaha
- Hak guna bangunan
· Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hak
pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku
wajib di daftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat
juga di bebani dengan hak tanggungan
Jadi selain tanah, bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanahnya dapat jadi objek hak tanggungan

Prosedur Pemberian Hak Tanggungan
A. didahulukan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu
B. dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT

Berbagai istilah banyak dipakai berkenaan dengan kegagalan kredit seperti (1) “KREDIT MACET”, (2) “NPL (Non Performing Loan)”, (3) “KREDIT BERMASALAH”, (4) “BAD DEBT”, dll. Secara umum semua istilah tersebut tidaklah berbeda, karena “hasil akhir” dari semua istilah tersebut adalah sama yakni suatu keadaan dimana debitur (nasabah)  tidak/belum melaksanakan kewajiban pembayaran kembali hutangnya kepada kreditur (Bank) sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan/disepakati dalam perjanjian kredit.

Kegagalan pembayaran hutang atau kredit dapat berasal dari dalam Bank (internal) maupun dari luar Bank. Bila ditarik suatu garis lurus, maka terjadinya kegagalan  kredit (Non Performaing Loan) adalah karena kurang cakapnya pihak pengelola kredit, lemahnya monitoring penggunaan kredit, dan adanya itikad yang kurang baik dari debitur.

Pada dasarnya, kreditur pemegang jaminan kebendaan memiliki hak untuk mengeksekusi barang jaminan untuk dijual secara lelang guna pembayaran utang debitur jika debitur lalai melaksanakan kewajibannya berdasarkan perjanjian kredit atau biasa disebut dengan wanprestasi. Pemberian hak kepada kreditur untuk mengeksekusi jaminan kebendaan yang diberikan oleh debitur dapat kita lihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) serta beberapa peraturan perundang-undangan berikut ini:
1.    Pasal 1155 KUHPer: Kreditur sebagai penerima benda gadai berhak untuk menjual barang gadai, setelah lewatnya jangka waktu yang ditentukan, atau setelah dilakukannya peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada ketentuan jangka waktu yang pasti.
2.    Pasal 15 ayat (3) jo. Pasal 29 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Jaminan Fidusia”): yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).
3.    Pasal 6 jo. Pasal 20 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah: yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).

Mengenai apa yang dimaksud dengan wanprestasi sendiri, kita dapat mellihat pada Penjelasan Pasal 21 UU Jaminan Fidusia, yaitu yang dimaksud dengan "cidera janji" (wanprestasi) adalah tidak memenuhi prestasi, baik yang berdasarkan perjanjian pokok, perjanjian Jaminan Fidusia, maupun perjanjian jaminan lainnya.

Mengenai apa itu prestasi, berdasarkan Pasal 1234 KUHPer, ada 3 macam bentuk prestasi, yaitu:
1.    Untuk memberikan sesuatu;
2.    Untuk berbuat sesuatu; dan
3.    Untuk tidak berbuat sesuatu.

Melihat pada bentuk-bentuk prestasi pada Pasal 1234 KUHPer serta pendapat J. Satrio dalam bukunya yang berjudul Hukum Perikatan (hal. 122), dapat kita lihat bahwa wujud wanprestasi bisa berupa:
1.    Debitur sama sekali tidak berprestasi;
2.    Debitur keliru berprestasi;
3.    Debitur terlambat berprestasi.

Apabila kredit macet tersebut terjadi karena debitur tidak melaksanakan prestasinya sebagaimana terdapat dalam perjanjian kredit, maka sebelum melakukan eksekusi barang jaminan, debitur harus terlebih dahulu dinyatakan wanprestasi, yang dilakukan melalui putusan pengadilan. Untuk itu kreditur harus menggugat debitur atas dasar wanprestasi. Akan tetapi sebelum menggugat debitur, kreditur harus melakukan somasi terlebih dahulu yang isinya agar debitur memenuhi prestasinya. Apabila debitur tidak juga memenuhi prestasinya, maka kreditur dapat menggugat debitur atas dasar wanpretasi, dengan mana apabila pengadilan memutuskan bahwa debitur telah wanprestasi, maka kreditur dapat melakukan eksekusi atas barang jaminan yang diberikan oleh debitur.

Jadi, dapat atau tidaknya barang jaminan dieksekusi tidak hanya bergantung pada apakah jangka waktu pembayaran kredit telah lewat atau tidak. Akan tetapi, apabila debitur melakukan prestasi yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, itu juga merupakan bentuk wanprestasi (keliru berprestasi atau melakukan tidak sebagaimana yang diperjanjikan) dan dapat membuat kreditur berhak untuk melaksanakan haknya mengeksekusi barang jaminan.

Namun, biasanya sebelum membawa perkara kredit yang bermasalah ke jalur hukum, dilakukan upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu. Drs. Muhamad Djumhana, S.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum Perbankan di Indonesia (hal. 553-573), sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa mengenai kredit bermasalah dapat dilakukan penyelesaian secara administrasi perkreditan, dan terhadap kredit yang sudah pada tahap kualitas macet maka penanganannya lebih ditekankan melalui beberapa upaya yang lebih bersifat pemakaian kelembagaan hukum (penyelesaian melalui jalur hukum).

Menurut Djumhana, penyelesaian secara administrasi perkreditan antara lain sebagai berikut:
1.    Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit yang menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktu termasuk masa tenggang, baik meliputi perubahan besarnya angsuran maupun tidak;
2.    Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu, dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit dan konversi seluruh atau sebagian dari pinjaman menjadi penyertaan bank;
3.    Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit berupa penambahan dana bank; dan/atau konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru, dan/atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan.

Sedangkan, penyelesaian melalui jalur hukum antara lain:
1.    Melalui Panitia Urusan Piutang Negara;
2.    Melalui badan peradilan;
3.    Melalui arbitrase atau Badan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Oleh karena itu, memang barang jaminan dapat dilelang sebelum lewat jangka waktu pembayaran kredit dalam hal debitur melakukan tindakan wanprestasi lainnya. Meski demikian, ada baiknya ditempuh upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu untuk menyelesaikan kredit yang bermasalah sebelum melakukan gugatan ke pengadilan dan mengeksekusi barang jaminan.


Kantor Hukum Kalingga

Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati

(024) 76670350
HandPhone : 0821 3875 4004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar