Jumat, 23 Mei 2014

DASAR HUKUM PRAPERADILAN





Bahwa mengenai Praperadilan, dalam kurun waktu lebih dari dua dasawarsa (sejak berlakunya KUHAP pada 1981), secara praktik, Praperadilan yang awalnya diproyeksikan sebagai sarana pengawasan untuk menguji keabsahan suatu upaya paksa (dwangmiddelen), misalnya mengenai penangkapan dan penahanan terhadap tersangka, kini dinilai hanya bersifat pengawasan administratif belaka.

Hal ini dikarenakan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan cukup dapat dibuktikan oleh penegak hukum, dengan memperlihatkan ada atau tidak adanya surat penangkapan/surat penahanan secara formal saja. Di samping itu, Penangguhan Penahanan yang merupakan Hak dari Tersangka/Terdakwa, seringkali diabaikan oleh penegak hukum, yang justru lebih mengedepankan syarat subjektif penahanan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yaitu adanya “Kekhawatiran” dari Penegak Hukum bahwa tersangka/terdakwa akan melarikan diri, merusak/menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi perbuatan."

Selain itu, kekuasaan untuk melakukan penahanan cenderung dapat disalahgunakan oleh oknum penegak hukum (abuse of power). Kondisi demikian melahirkan wacana dan usulan agar peran dan fungsi Praperadilan diganti dengan Hakim Komisaris, yang sesuai dengan draf RUU KUHAP yang baru, diperlengkapi kewenangan yang jauh lebih luas dari Praperadilan.

Hakim Komisaris sendiri sebenarnya bukanlah konsep baru dalam dunia penegakan hukum di Indonesia, sebelumnya Hakim Komisaris sudah ada pada saat berlakunya Reglement op de Strafvoerdering (RV), namun setelah berlakunya HIR, Hakim Komisaris ditiadakan. Pada 1974, pernah ada wacana memasukkan hakim komisaris dalam RUU KUHAP yang pertama, namun ada pertentangan dari berbagai kalangan penegak hukum, karena dikhawatirkan akan mengganggu tugas dari kejaksaan dan kepolisian sebagai hulp magistraat (pembantu jaksa) pada saat berlakunya HIR(Herzien Indlandsch Reglement), sebelum KUHAP diundangkan sebagaimasterpiece dari Hukum Acara Pidana Indonesia.

Dalam RUU KUHAP, rancangan mengenai hakim komisaris sudah diformulasikan antara lain: kewenangan hakim komisaris secara tunggal (oleh karena jabatannya/ex officio) untuk menilai sah atau tidaknya upaya paksa (dwangmiddelen) baik mengenai penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan penyadapan, serta untuk soal penangguhan penahanan bagi tersangka, dan lain-lain.

Dalam menjalankan tugasnya yang cukup berat dan “tertutup” tersebut, hakim komisaris secara tunggal/mandiri hanya mendapat pengawasan dari Pengadilan Tinggi dan bukan dari publik sebagai sarana pengawasan umum, yang bersumber dari salah satu asas hukum acara pidana yang menyatakan “Pengadilan terbuka untuk umum”.

Mencermati begitu luasnya kewenangan dari Hakim Komisaris sebagaimana tersebut di atas dan sifat subjektifitas dari seorang hakim komisaris tanpa pengawasan yang “terbuka” sebagaimana yang ada pada Praperadilan Indonesia saat ini, dikhawatirkan dapat menggenapi adagium “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” (kekuasaan cenderung korupsi, kekuasaan mutlak pasti korupsi).

Dasar Hukum Praperadilan

Pasal 77 KUHAP
Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :
a.       Sah Atau Tidaknya Penangkapan, Penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b.      ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.


Pasal 79 KUHAP
Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya.



1.        PENGGELEDAHAN

Pasal 32 :
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.

Pasal 33 :
(1) Dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan yang diperlukan.
(2) Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah.
(3) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya.
(4) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir.
(5) Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.

Pasal 34 :
(1)   Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan:
a.         pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya;
b.        pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada;
c.         di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya;
d.        di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.
(2)   Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1)penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Pasal 36 :
Dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya, dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut dalam Pasal 33, maka penggeledahan tersebut harus diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di mana penggeledahan itu dilakukan.

2.        PENYITAAN

Pasal 38 :
(1)      Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat.
(2)      Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

Pasal 39 :
(1)      Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
a.        benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b.        benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c.         benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d.        benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e.         benda lain yang mempunyai hubungan lansung dengan tindak pidana yang dilakukan.
(2)      Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).



Pasal 42 :
(1)      Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan.
(2)      Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik jika surat atau tulisan itu berasal dari tersangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana.

Pasal 43 :
Penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain.

Pasal 44 :
(1)      Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara.
(2)      Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.

Pasal 46 :
(1)      Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:
a.        kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b.        perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
c.         perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
(2)      Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau, jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.

3.        PENANGKAPAN

Pasal 16 :
(1)      Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan.
(2)      Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan.

Pasal 17 :
Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

Pasal 18 :
(1)      Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
(2)      Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.
(3)      Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.

Pasal 19 :
(1)      Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama satu hari.
(2)      Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.

4.        PENAHANAN

Pasal 20 :
(1)      Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan.
(2)      Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan.
(3)      Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan.

Pasal 24 :
(1)      Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.
(2)      Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari.
(3)      Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4)      Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.

Pasal 25 :
(1)      Perintah penahanan yang diberikan oleh penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.
(2)      Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk paling lama tiga puluh hari.
(3)      Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4)      Setelah waktu lima puluh hari tersebut, penuntut umum harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.

Pasal 26 :
(1)      Hakim Pengadilan Negeri yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, guna kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari.
(2)      Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari.
(3)      Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi,
(4)      Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum. (808hr)


KANTOR HUKUM KALINGGA
 Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati Juwana Km. 3 Pati
(024) 76670350
0818 05887468
2AB48511
kantorhukumkalingga.blogspot.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar